KH. As'ad Syamsul Arifin (Situbondo)
Kiai As’ad, yang rajin membaca
dan berlangganan enam koran ditambah sebuah majalah mingguan berdarah Madura
asli. Lahir tahur 1897 di Mekah ketika orangtuanya menunaikan ibadat haji. Satu
satunya adiknya, Abdurrahman juga lahir di kota suci itu dan bahkan menjadi
hakim dan meninggal di Arab Saudi.
Pada umur 6 tahun, oleh ayahnya, K.H. Syamsul Arifin, seorang ulama besar di
Madura, K.H. As’ad ditaruh di Pesantren Sumber Kuning, Pamekasan. Menginjak
usia 11 tahun, As’ad diajak ayahnya menyeberangi laut dan membabat hutan di
sebelah timur Asembagus yang waktu itu terkenal angker “Dulu tidak ada orang,
kecuali ha- rimau dan ular berbisa,” kata Kia As’ad mengenang. Di bekas hutan
perawan itu, mereka membangur permukiman yang kemudian menjadi Desa Sukorejo.
Pada usia 16 tahun, bersama seorang adiknya, Abdurrahman. As’ad dikirim kembali
ke Mekah dengan harapan setelah pulang mewarisi Pesantren Sukorejo. Hanya 3
tahun bertahan di Mekah, ia kembali ke tanah air dan masih belajar di beberapa
pesantren. Di berbagai pondok ini, bukan cuma agama yang dipelajari, juga ilmu
silat, ilmu kanuragan.
As’ad juga pernah belajar di Pondok Tebuireng pimpinan K.H. Hasyim Asyari, dan
menjadi kurir ulama ini menjelang lahirnya NU tahun 1929. Setelah NU
berkembang, ia ternyata tak terpaku hanya pada NU. As’ad juga memasuki Sarekat
Islam selama pernah menjadi anggota organisasi Penyedar – yang didirikan Bung
Karno. Di sinilah, As’ad kenal dekat dengan presiden pertama ini. Di tengah
gejolak perjuangan itu (1939), K.H. As’ad menyunting gadis Madura, Zubaidah.
Dan kini dikaruniai lima anak. Si bungsu, satu-satunya lelaki, Ahmad Fawaid,
kini baru 14 tahun. Empat anak perempuannya semua sudah kawin dan memberinya
sembilan cucu serta tiga buyut.
Pesantren Sukorejo di bawah K.H. As’ad kini berkembang dengan pesat. Terletak
di pinggir jalan raya Situbondo Banyuwangi, 7 km sebelah timur Kecamatan
Asembagus. Dipintu gerbangnya tertulis bahasa Arab Ahlan Wa Sahlan dan bahasa
Inggris Welcome. Di pondok ini selain dikembangkan pendidikan gaya pesantren,
juga ditumbuhkan pendidikan umum, SMP, SMA, dan Universitas Ibrahimy. Santri
yang mengaji d pesantren sekitar 3.000, dan jika dihitung semua siswa (santri
dan murid sekolah umum) berjumlah 4.100 orang. Kompleks ini dijuluki “kota
santri”. Apalagi ada lapangan di tengah pondok dan santri setiap saat terlihat
main bola – memakai sarung.
Di pondok ini ada sebuah masjid yang tidak begitu besar. Tetapi As’ad membangun
masjid yang jauh lebih besar di luar kompleks Barangkali dimaksudkan agar para
santrl lebih menyatu dengan masyarakat sekitarnya.
Kiai yang rajin memelihara tanaman hias ini pernah mempunyai seekor kuda putih
warna kegemarannya. “Nabi Ibrahim kudanya juga putih,” katanya tentang kuda
itu. Sayang, kuda itu telah mati dan belum ditemukan kuda putih sebagai
pengganti. Namun, ada “kuda” lebih gesit yang dimiliki Kiai sekarang, yaitu
mobil kolt. Juga putih.
Selain rajin mengurusi enam ekor ayam hutannya, kiai ini juga memelihara seekor
burung beo yang pintar berbicara. Jika ada tamu yang datang, burung itu memberi
salam: assalamu’alaikum. Dan bila sang tamu membalas tegur sapa sang beo,
biasanya tamu lantas ketawa, lantaran si beo membalas dengan kata-kata
assooiiii … Tapi burung beo itu pun, menurut santrl di sana, menyerukan
Allahuakbar bila bergema suara azan. “Burung ini pemberian orang sebagai
hadiah,” kata seorang pembantu Kiai As’ad.
Toh ada yang khawatir tentang pesantren yang populer di Jawa Timur ini.
Termasuk Kiai As’ad sendiri. Pasalnya, adalah soal usia Kiai yang sudah cukup
sepuh, sementara pewaris satu-satunya, Ahmad Fawaid, masih sangat muda. “Saya
tak tega menyekolahkan Ahmad ke Arab Saudi, usianya masih muda – mungkin tiga
tahun lagi,” ujar Kiai. “Sang putra mahkota”, walau tekun juga mengaji bersama
teman sebayanya, kamarnya penuh dengan kaset, radio, televisi, bahkan video.
Sebagai anak muda, “hampir setiap saat ia tenggelam dengan hiburan itu,” ujar
seorang pembantu Kiai. Untuk Ahmad Fawaid memang disediakan kamar khusus yang
jauh dari rumah papan Kiai As’ad. Tapi sejak beberapa waktu lalu telah ditunjuk
K.H. Dhofir Munawar, menantu Kiai As’ad dari anak pertamanya, sebagai pengelola
pesantren sehari-hari.
SETELAH menjadi anggota Konstituante (1959), ia tak lagi tergiur pada jabatan
politik. Ia menolak jabatan yang disodorkan Bung Karno untuk menjadi menteri
agama di zaman Nasakom. Bahkan, sebagai ulama yang cukup terpandang di kalangan
Nahdatul Ulama (NU), ia juga menolak ketika ditawari untuk menjadi rois am,
bahkan rois akbar.
Kiai Haji Raden As’ad Syamsul Arifin, pimpinan Pondok Pesantren Salafiyah
Syafiiyah, Desa Sukorejo, Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur,
agaknya memang hanya tertarik mengurusi pesantrennya. “Saya ini bukan orang
politik, saya ini orang pesantren,” kata kiai berusia 86 tahun itu. Lebih-lebih
karena pengalaman selama menjadi anggota Konstituante (1957-1959): selama itu
pula pesantrennya sangat mundur.
Bukan berarti Kiai As’ad menyembunyikan diri dari keriuhan politik dan hingar-bingar
NU, yang sampai kini tak pernah selesai tuntas. Terbukti dari kegiatannya
menerima tamu yang tak putus-putusnya. Banyak pengamat menilai, Kiai As’ad
adalah salah seorang dari sedikit ulama yang pandai menjembatani jika ada
“ketegangan” antara pemerintah dan umat Islam, khususnya NU. Ketika ribut-ribut
soal buku PMP, Kiai As’ad tanpa banyak bicara, langsung menemui Pak Harto.
“Bagaimana Pak, buku PMP ini ‘kan bisa merusak akidah umat Islam,” kata Kiai
mengulang pembicaraan yang sudah setahun lebih itu. Berbicara begitu, Kiai
As’ad memberi beberapa contoh yang semestinya dikoreksi. Pak Harto, menurut
Kiai, berjanji akan menyelesaikannya. “Ternyata buku itu akhirnya
disempurnakan,” kata Kiai, yang sudah 15 kali ke Mekah.
Di saat ribut-ribut soal asas tunggal Pancasila, awal Agustus, untuk kesekian
kalinya, Kiai As’ad menemui Pak Harto di Cendana. Pertemuan itu, yang dihadiri
juga oleh Menteri Agama K.H. Munawir Syadzali yang direncanakan cuma 15 menit,
mekar menjadi 1 jam. Kepada Presiden ditegaskan pendirian NU yang menerima
Pancasila. “Ini penting ditegaskan, karena NU sejak semula berlandaskan
Pancasila dan UUD 45,” tuturnya. Presiden, menurut Kiai, manggut-manggut.
Bahkan Kiai As’ad lebih menegaskan, “Islam wajib menerima Pancasila, dan haram
hukumnya bila menolaknya. Sila pertama itu selaras dengan doktrin tauhid dan
Qulhuallahu Ahad.”
Dalam kemelut NU, Rois Am K.H. Ali Ma’shum, bersama pengurus NU lainnya,
mondar-mandir ke Situbondo. Kiai As’ad dipercayai menjadi “penengah”
penyelesaian kericuhan setelah K.H. Idham Chalid, sebagai pucuk pimpinan PBNU,
menyatakan mundur – tapi kemudian mencabut pernyataan itu.
Di pesantrennya, Kiai menempati rumah sederhana berdinding papan berukuran 3 x
6 meter. Rumah yang terletak di antara asrama santri wanita dan santri pria itu
tergolong paling jelek di Desa Sukorejo. Tapi tidak sembarang tamu boleh
berkunjung ke rumah itu – sebab yang diterima di sana hanya yang sudah dianggap
keluarga. Para pejabat, dari lurah sampai menteri, diterima di rumah yang lebih
bagus, milik anaknya. Di rumah si anak tersedia ruang berukuran sekitar 30 m2
yang digelari permadani untuk tamu yang ingin bermalam, atau terpaksa bermalam,
menanti giliran menemui Kiai, yang semua gigi atasnya sudah tanggal.
Di pesantren seluas 7 hektar inilah nanti, November 1983, akan berlangsung
Musyawarah Nasional NU. Untuk itu, semua biaya ditanggung pesantren pimpinan
Kiai As’ad ini. Warga NU di Situbondo dan Bondowoso langsung terlibat. “Akan
saya perintahkan untuk menyumbang beras satu kilogram setiap orang,” kata Kiai.
Beras itu dimaksudkan untuk konsumsi peserta musyawarah nasional yang
diperkirakan lebih dari seribu orang. Kiai yang tampak sehat ini tak
menjelaskan agenda munas itu.
Silsilah Nasab
Di tengah
gejolak perjuangan itu (1939), K.H. As’ad menyunting gadis Madura, Zubaidah.
Dan kini dikaruniai lima anak. Si bungsu, satu-satunya lelaki, Ahmad Fawaid.
Pendidikan
Pada masa
mudanya, KH R. As’ad muda menghabiskan masa lajangnya di berbagai pondok
pesantren di pulau jawa. Beberapa PONPES yang pernah beliau tempati dalam
mengais ilmu agama, antara lain PP Demangan Bangkalan asuhan KH Cholil Bangkalan, PP Panji, Buduran, PP
Tetango Sampang, PP Sidogiri, Pasuruan,
PP Tebuireng, Jombang
dan berbnagai PONPES lainnya di Pulau Jawa dan Madura.
Silsilah Keilmuan
Setelah malang
melintang di berbagai pesantren beliau melanjutkan studinya ke Makkatal
Mukarromah dan disana beliau berguru kepada Ulama’-ulama besar seperti:
- Sayyid
Muhammad Amin Al-Qutby
- Syekh
Hasan Al-Massad
- Sayyid
Hasan Al-Yamani
- Sayyid Abbas Al
Maliki
serta beberapa
ulama besar lainnya.
Jasa dan Karya Beliau
Pesantren Sukorejo
Pesantren
Sukorejo di bawah K.H. As’ad kini berkembang dengan pesat. Terletak di pinggir
jalan raya Situbondo Banyuwangi, 7 km sebelah timur Kecamatan Asembagus.
Dipintu gerbangnya tertulis bahasa Arab Ahlan Wa Sahlan dan bahasa Inggris
Welcome. Di pondok ini selain dikembangkan pendidikan gaya pesantren, juga
ditumbuhkan pendidikan umum, SMP, SMA, dan Universitas Ibrahimy. Santri yang
mengaji d pesantren sekitar 3.000, dan jika dihitung semua siswa (santri dan
murid sekolah umum) berjumlah 4.100 orang. Kompleks ini dijuluki “kota santri”.
Apalagi ada lapangan di tengah pondok dan santri setiap saat terlihat main bola
– memakai sarung.
Di pondok ini
ada sebuah masjid yang tidak begitu besar. Tetapi As’ad membangun masjid yang
jauh lebih besar di luar kompleks Barangkali dimaksudkan agar para santrl lebih
menyatu dengan masyarakat sekitarnya.
Anggota Konstituante
SETELAH menjadi
anggota Konstituante (1959), ia tak lagi tergiur pada jabatan politik. Ia
menolak jabatan yang disodorkan Bung Karno untuk menjadi menteri agama di zaman
Nasakom. Bahkan, sebagai ulama yang cukup terpandang di kalangan Nahdatul Ulama
(NU), ia juga menolak ketika ditawari untuk menjadi rois am, bahkan rois akbar.
Kiai Haji Raden
As’ad Syamsul Arifin, pimpinan Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah, Desa
Sukorejo, Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, agaknya memang
hanya tertarik mengurusi pesantrennya. “Saya ini bukan orang politik, saya ini
orang pesantren,” kata kiai berusia 86 tahun itu. Lebih-lebih karena pengalaman
selama menjadi anggota Konstituante (1957-1959): selama itu pula pesantrennya
sangat mundur.
Bukan berarti
Kiai As’ad menyembunyikan diri dari keriuhan politik dan hingar-bingar NU, yang
sampai kini tak pernah selesai tuntas. Terbukti dari kegiatannya menerima tamu
yang tak putus-putusnya. Banyak pengamat menilai, Kiai As’ad adalah salah
seorang dari sedikit ulama yang pandai menjembatani jika ada “ketegangan”
antara pemerintah dan umat Islam, khususnya NU. Ketika ribut-ribut soal buku
PMP, Kiai As’ad tanpa banyak bicara, langsung menemui Pak Harto. “Bagaimana
Pak, buku PMP ini ‘kan bisa merusak akidah umat Islam,” kata Kiai mengulang
pembicaraan yang sudah setahun lebih itu. Berbicara begitu, Kiai As’ad memberi
beberapa contoh yang semestinya dikoreksi. Pak Harto, menurut Kiai, berjanji
akan menyelesaikannya. “Ternyata buku itu akhirnya disempurnakan,” kata Kiai,
yang sudah 15 kali ke Mekah.
Landasan Pancasila pada NU
Di saat
ribut-ribut soal asas tunggal Pancasila, awal Agustus, untuk kesekian kalinya,
Kiai As’ad menemui Pak Harto di Cendana. Pertemuan itu, yang dihadiri juga oleh
Menteri Agama K.H. Munawir Syadzali yang direncanakan cuma 15 menit, mekar
menjadi 1 jam. Kepada Presiden ditegaskan pendirian NU yang menerima Pancasila.
“Ini penting ditegaskan, karena NU sejak semula berlandaskan Pancasila dan UUD
45,” tuturnya. Presiden, menurut Kiai, manggut-manggut. Bahkan Kiai As’ad lebih
menegaskan, “Islam wajib menerima Pancasila, dan haram hukumnya bila menolaknya.
Sila pertama itu selaras dengan doktrin tauhid dan Qulhuallahu Ahad.”
Dalam kemelut
NU, Rois Am K.H. Ali Ma’shum, bersama pengurus NU lainnya, mondar-mandir ke
Situbondo. Kiai As’ad dipercayai menjadi “penengah” penyelesaian kericuhan
setelah K.H. Idham Chalid, sebagai pucuk pimpinan PBNU, menyatakan mundur –
tapi kemudian mencabut pernyataan itu.
Di
pesantrennya, Kiai menempati rumah sederhana berdinding papan berukuran 3 x 6
meter. Rumah yang terletak di antara asrama santri wanita dan santri pria itu
tergolong paling jelek di Desa Sukorejo. Tapi tidak sembarang tamu boleh
berkunjung ke rumah itu – sebab yang diterima di sana hanya yang sudah dianggap
keluarga. Para pejabat, dari lurah sampai menteri, diterima di rumah yang lebih
bagus, milik anaknya. Di rumah si anak tersedia ruang berukuran sekitar 30 m2
yang digelari permadani untuk tamu yang ingin bermalam, atau terpaksa bermalam,
menanti giliran menemui Kiai.
Kisah Teladan Beliau
Mengantar Surat ke Sunan Ampel
Dikisahkan,
pada suatu hari Kiai As’ad disuruh KH Abdul Wahab
Hasbullah mengantarkan surat kepada Sunan Ampel (Raden
Rahmat). Dia tidak tahu isi surat itu, tapi dia tahu pasti kalau
Sunan Ampel sudah almarhum puluhan, atau bahkan ratusan tahun silam. Namun, dia
jelas tidak berani menolak perintah gurunya itu. Maka ke mana lagi dia berjalan
kalau tidak ke makam sang sunan di Ampeldenta, Surabaya.
Tidak jelas
bagaimana pengalaman spiritual yang diperoleh Kiai As’ad dalam mengemban tugas
itu. Namun, yang pasti, reaksi Kiai Wahab, ketika dilapori bahwa suratnya sudah
ditaruh persis di atas nisan sang sunan, beliau merasa bersyukur karena Sunan
Ampel telah merestui pembentukan jam’iyah NU.
"NU adalah
tarekat saya, sesuai dawuh (perintah) Sunan Ampel,” tutur Kiai Wahab.
Tokoh Pendiri NU
Belum lengkap
rasanya cerita NU tanpa peranan ulama besar ini, KHR. As’ad adalah sosok kyai
yang dari awal telah menganut paham-paham ahl al-sunnah wa al-jama’ah dan
selalu menghiasi kehidupan dalam kesehariannya dengan budaya-budaya ke-NU an.
Saat menjadi santri KH. Cholil bangkalan, Kyai As’ad muda menjadi santri
kesayangan gurunya sehingga pada masa dimana terjadi peralihan Perkumpulan
Ulama dalam “ Komite HIjaz “ menjadi “jam’iyah” Kyai As’ad muda menjadi
satu-satunya mediator dalam penyampaian isyaroh KH. Cholil kepada KH. Hasyim
As’ari Jombang. Beliau diutus oleh Kyai Cholil pada tahun 1924 beliau
menyampaikan satu tongkat disertai Surat Thoha ayat 17 s/d 23, pada tahun 1925
beliau kembali di utus menyampaikan hasil istikhoroh gurunya kepada KH. Hasyim
As’ari, beliau kembali kejombang dengan seuntai tasbih dan bacaan ya jabber, ya
qohhar 3x.
Ganti Sumbangan
Dikiisahkan
pula, ketika Nahdhatul Ulama mengadakan hajatan di Sukorejo, yaitu Munas Alim
Ulama 1983 dan Muktamar NU 1984, bantuan logistik mengalir, bahkan melimpah,
dari masyarakat, khususnya warga NU. Tujuh hari sebelum acara, tercatat telah
terkumpul 20 ekor sapi, 50 ekor kambing, 200 ekor ayam kampung, 15 ton beras,
dan lima truk gula, telur, sayur, dan buah-buahan. Semuanya berdatangan di
Sukorejo.
Acara yang
melayani 1.500 orang itu, tiap hari rata-rata menghabiskan lima sampai enam
kuintal beras, 130 sampai 300 ekor ayam, lima ekor kambing dan sapi, satu
sampai tiga truk sayur mayur dan buah kelapa, dan tak terhitung kayu bakar,
baik yang diantar dengan truk maupun di antar sendiri secara rombongan dengan
sepeda ontel. Juru masaknya pun tak dibayar, mereka mengharapkan barakah dari
para kiai.
Saking
tingginya minat menyumbang dari warga, panitia sampai menolak ternak-ternak
sapi dan kambing lantaran mereka tidak mempunyai tempat penampungan. Namun
mereka tak habis pikir, binatang-binatang itu kemudian mereka antar lagi dalam
bantuk daging.
Bantuan itu
tidak hanya berasal dari warga yang kaya. Ada seseorang warga yang hanya
memiliki dua ekor sapi yang satunya sedang hamil. Karena untuk acara keagamaan
dia menyumbang salah satunya kepada Kiai As’ad.
Anehnya,
beberapa hari kemudian seorang "tamu asing” mendatangi warga tersebut.
Padahal saat mmberikan sapi itu, selain tulus ikhlas, warga tersebut juga tidak
mencatatkan nama dirinya. Lalu, siapa yang memberitahukan tamu asing itu?
Lucunya, tamu asing itu ngotot memberikan sejumlah uang beberapa kali lipat
dari harga sapi. Karena ikhlas menyumbang untuk kiai, uang itu ditolak dengan
tegas. Tapi, si tamu asing menegaskan tak mau meninggalkan rumah itu bila tetap
ditolak. Akhirnya, dengan terpaksa uang itu diterimanya juga.
Siapa orang
asing itu? Manusia atau mahkluk alam lain? Wallahu a’lam.
Menundukkan Bandit
Pada masa itu,
di daerah Besuki, jemaah salah Jumat sangat sedikit sekali bila dibandingkan
dengan jumlah penduduknya. Setelah diteliti oleh Kiai As’ad, ternyata di sana
ada seorang tokoh yang amat disegani masyarakat, seorang bajingan. Tanpa
ragu-ragu, kiai mendatangi rumah tokoh tersebut.
Mengetahui
bahwa tamunya seorang kiai besar, tuan rumah jadi kikuk dan kelabakan. Mereka
menjadi sangat terharu dan hormat, karena sang kiai tidak mempermasalahkan dan
melecehkan "profesi”-nya. Hebatnya lagi, kiai yang alim dan memiliki
banyak ilmu itu mengaku sanggup tinggal bersamanya di dunia dan akhirat. Kalau
dia nyasar ke neraka, kiai akan berusaha menariknya ke surga. Syaratnya, dia
harus mampu memenuhi masjid dengan warga sekitar dalam setiap salat Jumat.
Diplomasi Kiai
As’ad membuahkan hasil. Selain akhirnya orang-orang berbondong-bondong memenuhi
masjid, sang bajingan itu akhirnya insyaf dan rajin ke masjid. Misteri apa yang
ada pada diri Kiai As’ad sehingga mampu menundukkan bajingan itu? Inilah
kelebihan Allah yang diberikan padanya.
Gebrakan Kiai kepada Pasukan Jepang
Merasa dirinya
berada di jalan yang benar, Kiai As’ad berani melakukan apa pun, termasuk
melawan dan mengusir serdadu Jepang yang berada di depannya. Entah kekuatan
gaib apa yang menyertai kiai asal Pamekasan, Madura, ini sampai meja yang
berada di depannya hancur berantakan saat digebraknya dengan sangat keras.
"Negeri
ini milik kami!” teriak Kiai As’ad sambil menggebrak meja dengan sangat keras.
"Negeri ini bukan milik Jepang. Kalian harus meninggalkan negeri ini.
Kalau tidak, saya dan rakyat akan menyerang kalian!”
Para hadirin
tercengang. Meja yang kukuh itu retak dan kakinya menembus lantai! Pemimpin
Jepang bercucuran keringat dingin. Ketakutan! Wajah kiai merah, tak ada yang
berani menatap. Semua diam membisu!
"Kalian
harus pulang sekarang juga!” kata Kiai As’ad.
Mau tak mau,
pemimpin Jepang itu menyerah dan menandatangani persetujuan pemulangan tentara
Jepang dari Desa Curah Damar Garahan, Jember, ke Surabaya, dengan catatan semua
senjata harus ditinggalkan.
Itulah hasil
perundingan tokoh-tokoh masyarakat Karesidenan Besuki dengan pemimpin Jepang
sekitar September-Oktober 1945 yang bertempat di Pondok Pesantren Sukorejo.
Tentara Jepang akhirnya diangkut dengan kereta api ke Surabaya dengan kawalan
anggota Pelopor, tentara keamanan Rakyat, Hizibullah Sabilillah, dan rakyat
pada umumnya.
Suwuk Kiai
Sebagai kiai
dan ulama besar, Kiai As’ad tidak hanya menguasai banyak ilmu dari para guru
dan kitab-kitab Hikmah, namun juga ilmu-ilmu yang bagi masyarakat masa kini
sebagai ilmu-ilmu gaib. Maklum, murid-muridnya banyak dari kaum bromocorah,
sehingga dia pun banyak mendalami ilmu kanuragan (kekebalan). Saat sesama
mereka dibekali sebilah pedang serta celurit dan disuruh saling membacok. Tapi,
tebasan pedang dan celurit itu tidak ada yang mencederai mereka.
Sebagian murid
lain, ada yang diuji melompat dari pohon kelapa yang tinggi dan ternyata
badannya tetap utuh serta segar bugar. Yang ajaib adalah saat di antara para
murid itu mampu menjatuhkan puluhan buah kelapa hanya dengan sekali pandang.
Di balik semua
aktivitas itu, kiai sepuh yang sederhana ini terus-menerus membaca
amalan-amalan agar tidak terlihat musuh. "Asma ini penting untuk mencuri
senjata dan menyerang musuh,” tuturnya.
Para santri
yang dulunya bromocorah, dua di antaranya bernama Mabruk dan Abdus Shomad,
kemudian tergabung dalam Pasukan Pelopor itu, dan memang telah beberapa hari
mendalami ilmu kanuragan serta silat. Mereka juga sudah di-jaza’ atau di-suwuk
(ditiup dengan doa, atau disemprot dengan air yang sudah didoakan) oleh Kiai
As’ad Syamsul Arifin. Keampuhan mereka itu dibuktikan dalam perjalanan di
daerah Dabasah, dekat Bondowoso. Kebetulan di daerah tersebut terdapat sebuah
gudang senjata Belanda. Pasukan Pelopor ini, dengan izin Allah SWT, berhasil
mencuri 24 pucuk senjata dan sejumlah amunisi tanpa mendapat perlawanan. Dengan
ilmu gaib khusus, anak buah Kiai As’ad itu berhasil masuk gudang tanpa terlihat
oleh pasukan Belanda.
Pasir Jadi Dentuman Senjata
Ketika
mengadakan gerilya, beberapa pejuang tampak membawa pasir. Konon, pasir itu
adalah pemberian dari Kiai As’ad kepada para pejuang itu. Pasir tersebut
kemudian ditaburkan ke kacang hijau di dekat markas tentara Belanda atau di
jalan yang akan banyak dilewati tentara Belanda.
Aneh, suatu
keajaiban terjadi. Puluhan tentara Belanda yang bersenjata lengkap itu
tiba-tiba lari terbirit-birit ketakutan sambil meninggalkan senjatanya. Mungkin
mereka mengira suara pasir itu adalah suara dentuman senjata api. Padahal, saat
itu para pejuang tidak membawa senjata api. Bagaikan mendapatkan rejeki nomplok,
para pejuang itu seakan berpesta pora dan memunguti satu per satu
senjata-senjata yang ditinggal Belanda itu.
Dalam
kesempatan lain, sebanyak 50 anggota Laskar Sabilillah mohon jaza’ kepada Kiai
As’ad ke Sukorejo sebagai bekal untuk berjuang melawan Belanda. Pertama-tama
yang ditanyakan oleh Kiai As’ad adalah keteguhan mereka untuk berjuang.
"Apakah kalian betul-betul ingin berjuang?” tanya Kiai As’ad.
"Kami
memang ingin berjuang, Kiai, asalkan kami diberi azimat,” jawab pemimpin
rombongan.
"Oh, itu
gampang,” jawab Kiai As’ad. "Be en entar bungkol, moleh bungkol (kamu
berangkat perang utuh, pulang pun utuh).”
Lalu Kiai As’ad
mengambil air putih dan menyuruh mereka meminumnya sambil membaca sholawat.
Setelah itu Kiai As’ad berpesan, "Kalian tidak boleh menoleh ke kiri dan
ke kanan. Terus maju, jangan mundur. Kalau maju terus dan tertembak mati,
kalian akan mati syahid dan masuk surga. Tapi, bila kalian mundur dan
tertembak, kalian akan mati dalam keadaan kafir!”
Mecah Diri
Pada suatu
hari, Kiai Mujib diajak Kiai As’ad menghadiri delapan acara walimah haji di
luar kota. Kiai Mujib baru merasakan keajaiban yang dialaminya setelah kembali
ke Sukorejo. Mereka berangkat pukul 20.30, dan pukul 22.30 telah berada lagi di
Sukorejo. Padahal perjalanan pulang pergi saja memerlukan waktu dua jam,
sementara mereka harus mengunjungi delapan kali acara yang tepatnya
masing-masing sangat berjauhan. Ini belum lagi dihitung waktu Kiai As’ad
memberi ceramah dan jamuan makan, yang tentu saja memakan waktu tidak sebentar.
Ini ajaib. Mana
mungkin perjalanan yang seharusnya memakan waktu dua jam plus semua acara yang
tempatnya saling berjauhan dan memakan waktu berjam-jam itu bisa dilakukan
hanya dengan dua jam? Kiai Mujib mengemukakan kebingungannya itu kepada sopir
kiai, H. Abdul Aziz.
"Iya…iya,
kenapa bisa begitu?” katanya sambil berulang kali melihat jam tangannya untuk
menyakinkan diri bahwa saat itu memang baru pukul 22.30.
Seminggu
kemudian, di Sukorejo, Haji Aziz memperoleh info mengenai keributan yang hampir
saja terjadi di antara pemilik delapan acara walimah tersebut karena
masing-masing ngotot didatangi kiai pada saat yang bersamaan. Akhirnya mereka
sama-sama heran, sebab masing-masing mempunyai bukti berupa foto ketika kiai
berada di rumah-rumah mereka.
Peristiwa
seperti itu pernah dialami sendiri oleh Kiai As’ad ketika muda. Dia heran, ada
kiai yang menjadi imam salat Jumat di tiga masjid dalam waktu yang bersamaan.
Menurut kisah, Kiai As’ad bermakmun saat salat Jumat dengan imam Kiai Asadullah
di Masjid Besuki. Bupati Situbondo, yang mendengar hal itu, membantah, dan
sambil ngotot mengatakan bahwa Kiai Asadullah hari itu mengimammi salat Jumat
di Situbondo, bahkan sang Bupati mengaku berdiri tepat di belakangnya. Penghulu
Asembagus, yang kebetulan mendengar pertikaian itu, malah menimpali bahwa
Asadullah menjadi imam salat di daerahnya.
Hal itu
mengingatkan Kiai As’ad pada dawuh (perintah) Habib Hasan Musawa bahwa Kiai
Asadullah telah mencapai maqam fana fi adz dzat, bisa menjadi tiga bhkan
sepuluh dalam waktu bersamaan. Ilmu yang sama kelak kemudian hari juga dimiliki
oleh Kiai As’ad
Maqam Fana
Mengetahui
bahwa Kiai As’ad telah tertidur pulas, Kiai Mujib,
yang memijit beliau, kemudian mencium badan sang kiai dari ujung kaki sampai
ujung kepala. Namun, dia tidak mencium bau apa-apa. "Beliau ini sebenarnya
ada apa-apanya tidak sih?” pikir putra Kiai Ridwan,
pencipta lambang NU itu. "Apakah ini orang yang dikatakan sudah berada di
maqam fana?”
Tapi ternyata
Kiai Mujib terkaget-laget. Tiba-tiba terdengar suara, "Pak Mujib, apa yang
sampean cari. Apakah sampean mengira di dalam tubuh saya ini ada apa-apanya?”
Dari pengalaman
itu Kiai Mujib tersadar, lebih baik melihat beliau dari jauh. Ajaib! Kalau
dilihat dari jauh terlihat agak samar tapi tampak, tapi kalau didekati tidak
kelihatan.
Pada umur 6 tahun, oleh ayahnya, K.H. Syamsul Arifin, seorang ulama besar di Madura, K.H. As’ad ditaruh di Pesantren Sumber Kuning, Pamekasan. Menginjak usia 11 tahun, As’ad diajak ayahnya menyeberangi laut dan membabat hutan di sebelah timur Asembagus yang waktu itu terkenal angker “Dulu tidak ada orang, kecuali ha- rimau dan ular berbisa,” kata Kia As’ad mengenang. Di bekas hutan perawan itu, mereka membangur permukiman yang kemudian menjadi Desa Sukorejo.
No comments:
Post a Comment
Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.