Tuesday 2 April 2013

Pangeran Jayakarta

Makam Pangeran Jayakarta di kawasan Jatinegera Kaum, Jakarta Timur, memang tidak pernah sepi dari peziarah yang datang dari berbagai daerah. Di balik cerita mengenai hal itu, ternyata tempat peristirahatan terakhir bangsawan Banten itu pernah dirahasiakan keberadaannya hingga tiga abad.

Makam Pangeran Jayakarta baru diumumkan pada 1965 bertepatan dengan HUT DKI ke-429, yaitu pada massa pemimpinan Gubernur Henk Ngantung atau setelah Belanda pergi.


Sejarah Pangeran Jayakarta, atau Jayakerta, masih perlu di teliti lagi. Tapi dalam situs internet disebutkan, Pangeran Jayakarta adalah nama lain dari Pangeran Akhmad Jakerta, putra Pangeran Sungerasa Jayawikarta dari Kesultanan Banten.

Namun, menurut sebuah sumber sejarah lain, Pangeran Jayakarta adalah putra Ratu Bagus Angke, juga bangsawan asal Banten. Ratu Bagus Angke alias Pangeran Hasanuddin adalah menantu Fatahillah atau Falatehan yang konon menantu Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, peletak dasar Kesultanan Cirebon dan Banten.
Pangeran Jayakarta mewarisi kekuasaan atas Jayakerta dari Ratu Bagus Angke, yang sebelumnya memperoleh kekuasaan itu dari Fatahillah, yang memutuskan pulang ke Banten (Banten Lama sekarang) setelah berhasil merebut pelabuhan itu dari Kerajaan Pajajaran pada pertengahan Februari 1527. Waktu itu, ia juga berhasil menghalau pasukan Portugis yang juga berambisi menguasai bandar samudra nan ramai itu.
Jayakerta atau Jayakarta adalah nama yang diberikan Fatahillah bagi pelabuhan yang sebelumnya bernama Sunda Kelapa. Nama baru disahkan pada 22 Juni 1527, tanggal yang hingga kini dianggap sebagai hari jadi Kota Jakarta.
Sejarah mencacat, di bawah kepemimpinan Pangeran Jayakarta kota bandar itu maju pesat, terutama di bidang perdagangan hasil bumi. Hal itu membuat Belanda, lewat perusahaan dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), ingin berusaha di sana. VOC sebelumnya sudah malang-melintang dan menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku.
Pada November 1610, Belanda berhasil mendapat hak atas tanah seluas 94 meter persegi di sisi timur muara Kali Ciliwung. Sebagai imbalan, kepada Pangeran Jayakarta Belanda membayar sebesar 2.700 florin atau 1.200 real. Namun, di pelabuhan yang ketika itu juga disebut Jakerta, Belanda mempraktikkan sistem dagang monopoli yang licik, yang merugikan Pangeran Jayakarta. Perselisihan pun pecah dan merebak antara tahun 1610-1619.
Dalam konflik itu, Pangeran Jayakarta dibantu pasukan kiriman Sultan Banten yang juga merasa dicurangi serta pasukan Inggris, yang waktu itu juga sudah punya markas di sisi barat muara Ciliwung. Tak tahan dikeroyok, Gubernur Jenderal Belanda Jan Pieterszoon Coen kabur ke Ambon, meminta tambahan pasukan.
Saat Coen masih di Maluku dan pasukan kompeni (VOC) sudah terpojok, muncul konflik baru antara Banten dan Inggris, yang berakhir dengan terusirnya Inggris dari Jayakarta. Akan tetapi, pada saat sama, Coen tiba-tiba muncul lagi dengan membawa pasukan yang masih segar dari Ambon.
Mengusung semboyan “despereet niet” (jangan putus asa) Coen langsung memorakporandakan pasukan koalisi Banten-Jayakarta yang sudah loyo gara-gara pertempuran dengan Inggris. Bala tentara Banten melarikan diri ke arah barat dan selatan, sementara Pangeran Jayakarta dan para pengikutnya mundur ke arah tenggara. Setelah menguasai Jakerta pada 12 Maret 1619, Coen mengganti nama kota pelabuhan itu menjadi Batavia.
Mengecoh dengan jubah
Meski terusir dari Jakerta, Pangeran Jayakarta belum menyerah. Ajakan Belanda untuk berdamai selalu ia tolak. Pangeran Jayakarta bahkan terus melancarkan perlawanan. Dalam sebuah pertempuran yang terjadi di daerah Mangga Dua, ia kehilangan Syekh Badar Alwi Alidrus, panglima perangnya yang tertangkap dan dikuliti anak buah JP Coen.
Dalam pertempuran pada sekitar Mei 1619 itu, pasukan Pangeran Jayakarta dikabarkan terdesak. Mereka dikepung pasukan Belanda dari arah Senen, Pelabuhan Sunda Kelapa, dan Tanjung Priok. Menurut cerita Raden Jayanegara, juga keturunan Pangeran Jayakarta, menyebut, saat jadi buronan Belanda, kakek moyangnya itu berhasil mengelabui tentara kompeni dengan melepas jubah dan sorbannya, yang lantas dibuang ke dalam sebuah sumur di Mangga Dua. Belanda menyangka Pangeran Jayakarta tewas setelah menembaki jubah dan sorban di sumur itu, yang kini berada di Jalan Pangeran Jayakarta dan dikenal sebagai keramat Pangeran Jayakarta.

Beberapa cerita lain menyebutkan bahwa pangeran Jayakarta gugur dalam pertempuran itu. Akan tetapi, ada pula kisah yang menyebut beliau berhasil lolos dari maut.
Kisah ini memang ada beberapa versi, termasuk yang bernuansa gaib, yang menyebut bahwa, saat dikejar Belanda, Pangeran Jayakarta tiba-tiba menghilang di sebuah sumur di daerah Angke. Kemudian muncul lagi di Mangga Dua.
Pada keadaan lain, situasi tidak memungkinkan bagi Pangeran Jayakarta dan sisa pengikutnya untuk kembali, mereka memutuskan untuk berjalan terus ke selatan. Sampailah mereka pada sebuah hutan jati di tepi Kali Sunter yang membelah hutan, yang kemudian dikenal daerah Jatinegara Kaum, dan memutuskan untuk tinggal.

Permulaan tahun 1620, Pangeran Jayakarta kemudian membangun masjid dekat Kali Sunter. Kegunaan masjid ini untuk menggalang kekuatan kembali.

Sebelum bernama Masjid As-Salafiyah, masjid ini dikenal dengan sebutan Masjid Pangeran Jayakarta. Puluhan ulama, tokoh masyarakat dan jawara seringkali berkumpul di masjid ini menyusun strategi perjuangan dan dakwah Islam.

Pada tahun 1940 M Pangeran Jayakarta meninggal dunia dan dimakamkan dekat Masjid Assalafiah bersama para keluarga dan pengikutnya.



No comments:

Post a Comment

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. I R M A T A - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger